Bulan Februari 2014 saya berkesempatan mengunjungi Kota Banda Aceh.
Kota Banda Aceh adalah salah satu kota sekaligus ibu kota provinsi Aceh, Indonesia. Sebagai pusat pemerintahan, Banda Aceh menjadi pusat segala kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Selama perjalanan saya di Kota Banda Aceh saya ditemani oleh supir sekaligus guide saya disana. beliau menceritakan betapa mencekamnya saat peristiwa tsunami melanda. Air bak air bah melalap semua jalan, bangunan sekaligus orang-orang yang berlarian menghindari terjangan air laut. Air laut yang menyapu hingga beberapa mil jauhnya bercampur dengan balok kayu dan benda-benda yang disapunya. Untuk dapat membayangkan kedahsyatan tsunami, saya mengunjungi beberapa tempat seperti Kapal Apung Lampulo, Museum Tsunami dan Kapal PLTD Apung.
A. KAPAL DIATAS RUMAH LAMPULO
Kapal Apung Lampulo – Siapa yang tidak kenal dengan kapal yang satu ini?
kapal Lampulo merupakan kapal nelayan yang sering digunakan oleh
masyarakat Lampulo di Banda Aceh untuk melaut. Tetapi tragedi besar di
Aceh pada tahun 2004 silam, membuat kapal ini memiliki keunikkan
tersendiri dan kini sudah menjadi salah satu objek wisata sejarah di
Banda Aceh.
Saat terjadinya bencana tsunami tahun 2004 lalu, salah satu kapal
Lampulo milik nelayan ini terseret ke daratan sejauh sekitar 3 kilometer
dan sampai akhirnya terdampar tepat di salah satu atap rumah penduduk.
Cukup mencengangkan, kapal dengan berat sekitar 65 ton dengan panjang
badan kapal sekitar 25 meter itu bisa berada di atap rumah penduduk.
Tapi itulah faktanya.
Pengunjung dapat melihatnya sendiri ke lokasi tempat kapal apung
Lampulo ini terdampar, karena bentuk asli dan letak kapal sampai
sekarang ini tetap dibiarkan oleh pemerintah kota Banda Aceh untuk
dijadikan objek wisata sejarah tsunami. Bagian menarik lain dari lokasi
ini adalah, rumah yang menjadi tempat kapal ini terdampar. Rumah
tersebut sampai sekarang masih di huni oleh sebuah keluarga.
Pemilik rumah tersebut tidak keberatan jika lokasi kapal ini
dijadikan objek wisata sejarah oleh pemerintah kota Banda Aceh, bahkan
pemilik rumah ini pula lah yang menawarkan diri untuk menjaga objek
wisata ini.
Saat terjadinya tsunami yang melanda wilayah ini, kapal Lampulo yang
terseret dan terombang ambing ini menjadi tempat perlindungan warga
setempat. Warga naik dan masuk ke dalam kapal sehingga menyelamatkan
mereka dari bencana terjangan gelombang tsunami.
Sampai saat air laut mulai surut, kapal ini pun terdampar tepat di
atas rumah seorang kepala keluarga yang berlindung di dalam kapal.
Itulah kenapa sampai sekarang ini keluarga tersebut yang rumahnya
tertimpa kapal ini dengan ikhlas untuk menjaga kapal ini tetap berada di
posisinya, karena kapal apung Lampulo ini sudah banyak memberi jasa
terhadap kehidupannya dan warga sekitar kampung Lampulo.
B. MUSEUM TSUNAMI DI ACEH
Tidak lengkap rasanya, kalau berkunjung ke Aceh tanpa mengunjungi Museum
Tsunami. Museum ini dibangun oleh
BRR NAD-NIAS setelah perlombaan desain yang dimenangkan M. Ridwan
Kamil, dosen ITB dan berhak atas dana 100 juta rupiah. Museum ini
sendiri menghabiskan 140 Milyar untuk pembangunannya. Bila diperhatikan
dari atas, museum ini merefleksikan gelombang tsunami, tapi kalo
dilihat dari samping (bawah) nampak seperti kapal penyelamat dengan
geladak yang luas sebagai
escape building.
Begitu masuk di dalam, anda serasa memasuki lorong gelap gelombang
tsunami dengan ketinggian 40 meter dengan efek air jatuh. Hati-hati
dengan kepala anda, siapkan topi lebar agar rambut dan baju anda tidak
basah. Bagi yang takut gelap dan masih phobia dengan tsunami, tidak
disarankan untuk masuk dari jalur ini. Setelah melewati tempat ini,
puluhan
standing screen menyajikan foto-foto pasca tsunami
berupa kerusakan dan kehancuran serta kematian, yang penuh dengan
gambar korban dan gambar pertolongan terhadap mereka.
saya melihat jam berdiri besar yang mati saat waktu menunjukkan
pukul 8.17 menit atau foto jam Mesjid Raya Baiturrahman yang jatuh dan
mati juga pada saat tersebut. Artefak lainnya ialah miniatur-miniatur
tentang tsunami. Misal, orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut
dan berlarian menyelamatkan diri saat gelombang melebihi tinggi pohon
kelapa menerjang mereka. atau bangunan-bangunan rumah yang
porak-poranda oleh gempa sebelum datang air bah “membersihkannya”.
C. PLTD APUNG 1 - KAPAL PEMBUNUH
Peristiwa bencana tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada 26 Desember
2004 memang meninggalkan banyak cerita. Bencana yang dimulai dengan
gempa berkekuatan 8,9 skala richter kemudian disusul dengan datangnya
air bah yang tidak terduga itu membunuh ratusan ribu nyawa dan
menghancurkan kehidupan rakyat Aceh.
Salah satu bukti kuat adanya tsunami dahsyat 2004 itu adalah bangkai
sebuah kapal berukuran besar di Kampung Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya
Baru, Banda Aceh atau dekat dengan Pantai Ulee Lheue. Ya, kapal itu
adalah Kapal Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung I milik
Perusahaan Listri Negara (PLN). Kedahysatan tsunami sudah bisa tergambar
dengan jelas dengan melihat bangkai kapal ini, bagaimana sebuah kapal
yang memiliki berat hingga 2.600 ton dengan panjang 19 meter dan lebar 9
meter bisa terlempar ke daratan sejauh 2 kilometer dari Pelabuhan Ulee
Lheue.
Awalnya, kapal milik PLN yang bisa menyuplai daya hingga 10,5
megawatt ini bertugas di Kalimantan Barat. Selanjutnya kapal menuju Aceh
pada 2003 untuk memenuhi kebutuhan listrik di Banda Aceh melalui jalur
laut. Tidak mengherankan kapal generator listrik PLTD Apung I saat itu
menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi penduduk Banda Aceh yang
mengalami kekurangan pasokan listrik.
Saat tsunami menerjang, kapal ini sebenarnya berada di laut, kurang
lebih 3 kilometer dari pelabuhan hingga akhirnya terdampar di tengah
perkampungan di Kota Banda Aceh. Tercatat ada 11 anak buah kapal (ABK)
yang berada di PLTD Apung I saat tsunami. Sayangnya, dari jumlah itu
hanya satu orang saja yang selamat. Satu orang ABK yang selamat ini
tetap berada di atas kapal saat kapal terbawa ombak hingga ke daratan.
Tidak lama setelah kapal terseret, air bah mulai surut, kemudian 10
orang ABK turun dari kapal, sedangkan satu orang lagi tidak ikut turun.
Nahas, air laut kembali naik dan 10 orang yang turun ini terhempas
tsunami sementara satu orang yang tetap berada di atas kapal dalam
kondisi selamat.
Meskipun Kapal PLTD Apung I masih bisa beroperasi, namun kapal
sengaja tidak dipindahkan karena sangat sulit untuk memindahkan kapal
itu kembali ke laut. Kalaupun bisa, untuk memindahkannya membutuhkan
dana yang sangat besar. Untuk itu, sekarang kapal ini dihibahkan untuk
menjadi sebuah monumen sebagai bukti kedahsyatan tsunami yang melanda
Aceh pada Desember 2006.
Saat berkunjung ke Kapal PLTD Apung I, Anda bisa naik ke lantai tiga
kapal untuk menikmati pemandangan Kota Banda Aceh dari atas. Selain itu,
disediakan menara pandang yang cukup tinggi untuk melihat Kapal PLTD
Apung I dari sisi yang berbeda. Tidak jauh dari lokasi kapal, terdapat
pula Taman Edukasi Tsunami yang indah dan asri, serta dihias dengan
koleksi foto-foto saat tsunami terjadi.
Situs Tsunami PLTD Apung I dibuka setiap hari pada pukul 09.00-12.00
WIB dan 14.00-17.30 WIB, kecuali hari Jumat yang dibuka pada pukul
14.00-17.00 WIB. Untuk masuk ke situs tsunami ini pengunjung hanya
dimintai sumbangan Rp 2.000 per orang. Cukup murah kan untuk sebuah
tempat wisata yang sangat menarik ini?
Perlu diingat, lokasi Kapal PLTD Apung I berada di Kampung Punge
Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh. Jaraknya kurang lebih 1
kilometer dari pusat Kota Banda Aceh. Untuk ke sana, Anda bisa
menggunakan jasa becak motor yang banyak beroperasi di berbagai penjuru
Kota Banda Aceh.